Sabtu, 03 Oktober 2009

LEMAH LEMBUT TERHADAP KAUM MUKMIN DAN KERAS TERHADAP KAUM KAFIR

Lemah lembut terhadap kaum Mukmin dan keras terhadap kaum Kafir hukumnya wajib. Dalilnya adalah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Mâidah [5]: 54)

Kata “dzillah” pada ayat ini memiliki arti belas kasih, sayang, dan lemah lembut, bukan bermakna kehinaan atau menghinakan diri. “al-’Izzah” artinya keras, bengis, permusuhan, dan kemenangan. Suka di katakan “’Izzuhu” maknanya sama dengan “ghalabahu” artinya mengalahkannya. al-Ardh al-‘Izaz maknanya sama dengan artinya tanah yang keras. Firman Allah: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,… (TQS. al-Fath [48]: 29)

Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan Rasulullah saw. bersikap rendah hati kepada kaum Mukmin. Dalam ayat lain Allah berfirman:
Dan berendah hati-lah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (TQS. al-Hijr [15]: 88)

Juga Allah berfirman :
Dan rendahkanlah hati-mu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (TQS. asy-Syuara [26]:215)

Maksud kedua ayat ini adalah lemah lembutlah pada mereka dan kasihilah mereka. Allah melarang Rasulullah saw. Untuk bersikap keras. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (TQS. Ali ‘Imrân
[3]: 159)

Ketika Allah memerintahkan Rasulullah saw. agar menyayangi dan lemah lembut kepada orang-orang beriman dan melarang bersikap keras kepada mereka, saat itu Allah pun memerintahkan beliau agar bersikap keras kepada kaum Kafir. Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (TQS. at-Taubah [9]: 73)

Seruan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dengan demikian, setiap mukmin juga wajib menyayangi, mengasihi, lemah lembut, dan rendah hati kepada orang-oarng beriman. Setiap mukmin juga wajib bersikap keras, kasar, memusuhi, dan mengalahkan kaum Kafir. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orangorang yang bertakwa. (TQS. at-Taubah [9]: 123)

Dalam as-Sunah terdapat nash yang membenarkan kewajiban tersebut. Dalam hadits dari Nu’man bin Basyir Rasulullah bersabda:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling cinta-mencintai dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit dengan tidak bisa tidur dan demam. (Mutafaq ‘alaih).

Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Iyadh bin Himar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Penghuni surga ada tiga golongan. Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai (dengan syariat). Kedua, orang yang penyayang, halus perasaannya bagi setiap yang memiliki keluarga dan terhadap seorang muslim. Ketiga, orang yang menjaga kesucian, menahan diri terhadap hal-hal yang haram, dan memintaminta. Dalam hadits Jarir bin Abdullah Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa tidak menyayangi (orang beriman,) maka dia tidak akan diberi rahmat (Mutafaq ‘alaih).

Ungkapan dihalanginya dari rahmat, yakni rahmat Allah, adalah indikasi atas wajibnya menyayangi kaum Mukmin. Di antara indikasi lain atas kewajiban ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari Abû Hurairah, ia berkata; Aku mendengar Abû Qasim saw. yang benar dan dibenarkan bersabda: Sesungguhnya rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka. Juga hadits riwayat Muslim dari ‘Aisyah ra., ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di rumahku ini:

Ya Allah, siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku, kemudian ia memberatkan mereka, maka beratkanlah ia. Siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku, kemudian ia bersikap lemah lembut kepada mereka, maka lemah lembutlah Engkau kepadanya.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa perintah untuk menyayangi bersifat umum mencakup seluruh manusia, baik muslim, kafir, munafik; yang taat, dan yang maksiat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Jarir bin Abdullah berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Allah tidak akan memberikan rahmat kepada orang yang tidak menyayangi manusia.”
Maka kami katakan, memang benar bahwa kata “an-Nâs” (manusia) adalah kata yang bersifat umum, tetapi termasuk kata umum yang memiliki arti khusus. Seperti kata “an-Nâs” dalam firman Allah:
(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu Di antara hadits yang membuktikan kasih-sayangnya Rasulullah saw. kepada kaum Mukmin adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhâri Muslim dari Abdullah bin Umar, ia berkata; Sa’ad bin Ubadah pernah mengadukan penyakitnya. Kemudian Rasulullah saw. datang untuk menengoknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika Rasulullah saw. masuk menemuinya, beliau mendapatkannya sedang pingsan. Kemudian beliau berkata, “Apakah ia telah wafat?”. Para sahabat menjawab, “Belum wahai Rasulullah!.” Kemudian Rasulullah saw. menangis. Ketika para sahabat melihat beliau menangis, maka mereka pun menangis. Kemudian
Rasulullah saw. bersabda:

Apakah kalian tidak mendengar? Sesungguhnya Allah tidak akan
memberikan siksaan karena air mata, atau karena kesedihan hati,
tapi dengan ini —sambil menunjuk lisan beliau—, atau Allah akan
memberikan Rahmat-Nya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia mengatakan hadits
ini hasan shahih, dari ‘Aisyah ra:
Nabi saw. telah mencium Utsman bin Madz’un dalam keadaan
sudah wafat. Beliau menangis atau berlinang air matanya Hadits Riwayat Muslim dari Anas bin Malik:
Sesungguhnya Nabi saw. tidak pernah menemui wanita selain istriistrinya
kecuali kepada Ummu Sulaim. Nabi saw. suka
menemuinya. Kemudian ada yang berkomentar tentang hal itu.
Maka nabi saw. bersabda, “Aku menyayanginya karena saudaranya
telah terbunuh pada suatu peperangan bersamaku.”
Hadits yang diriwayatkan al-Bukhâri dari Abdullah bin Umar, ia
berkata:
Nabi saw. telah mengepung penduduk Thaif tetapi belum bisa
menakhlukkannya. Kemudian beliau bersabda, “Insya Allah kita
akan kembali (ke Madinah) besok.” Kaum Muslim berkata,
“Mengapa kita harus kembali, padahal kita belum dapat
menakhlukkannya.” Rasulullah saw. bersabda, “Pergilah
berperang!” Maka para sahabat pun pergi berperang sehingga
mereka terluka. Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Besok kita
akan kembali, insya Allah.” Para sahabat terheran-heran dengan
sabda Nabi saw. itu, sementara itu Rasulullah saw. hanya tersenyum
Hadits riwayat Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, ia
berkata:
Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah saw. tiba-tiba ada
seorang yang bersin, maka aku berkata, “Semoga Allah
merahmatimu.” Kemudian orang-orang memandangku. Aku
Berkata, “Celakalah Ibumu, kenapa kalian memandangiku?”
Mereka kemudian memukul-mukul paha mereka. Ketika aku
melihat mereka, ternyata mereka sedang menyuruhku untuk diam,
dan aku sudah diam. Ketika Rasulullah saw. selesai shalat; demi
Bapak dan Ibuku, sungguh aku belum pernah melihat —sebelum
dan sesudah kejadiaan itu-– seorang pengajar yang lebih baik
pengajarannya dari pada beliau. Demi Allah, beliau tidak
membenciku, tidak memukulku, dan tidak memarahiku. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak layak ada sedikit
pun perkataan manusia. Shalat ini hanyalah untuk bertasbih,
bertakbir, dan membaca al-Quran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar