Minggu, 04 Oktober 2009

Islam,Khilafah, dan Hizbut Tahrir Dalam Pandangan Barat (2)

ISLAM DI MATA BARAT

Inilah sikap yang telah diputuskan dan telah ditetapkan sejak dahulu dalam pemikiran Barat dan akal para pemimpinnya. Sebuah sikap yang telah biasa dijalankan oleh orang-orang Barat dan para pengiktunya dengan penuh keyakinan dan kepuasan, dengan penuh keinginan, kesadaran, dan kesengajaan. Ini bukan perkara baru. Permusuhan terhadap kaum Muslim ini akan tetap selalu terpendam dan terus tumbuh mengakar di dalam relung jiwa kaum kafir semenjak Allah menuturkan karakter mereka di dalam Al-Quran;

“Dan Sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar. Padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. dan Sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.(TQS. Ibrahim: 46)

Musuh-musuh itu telah dengan terang-terangan dalam permusuhan ini selam berabad-abad lamanya. Karenanya ketika tentara mereka mengenakan pakaian perangnya dan datang untuk menjajah negeri-negeri Islam, mereka berteriak dengan sekuat suaranya, “Ibuku, selesaikan-lah sembahyangmu…, jangan engkau menangis…, tetapi tersenyum dan berharaplah…., aku berangkat ke Tripoli… dengan penuh kegembiraan dan kesenangan… akan aku curahkan darahku untuk memusnahkan umat terlaknat…akan aku perangi agama Islam….aku akan berperang dengan sekuat tenaga demi menghapus al-Quran…”.

Barat telah membangun hubungan dengan kita di atas satu dasar; bahwa, perang Salib masih terus berlangsung. Dengan demikian, permusuhan Barat terhadap dunia Arab dan Islam sesungguhnya adalah permsuhan agama dan hadharah (peradaban) yang selama ini telah mengakar di dalam jiwa kaum Barat dan para pendukungnya. Peperangan mereka atas kita itu akan terus berlangsung agar raksasa Islam (yang mereka hatairkan itu) tidak muncul kembali.

Dalam bukunya, al-Islâm ‘alâ Muftaraq al-Thuruq, Muhammad Asad (Leopold Weiss) mengatakan, “Kebencian ini sungguh selalu memenuhi jiwa bangsa Barat tiap kali disebut kata Muslim. Hal ini telah merasuk ke dalam peribahasa-pribahasa mereka, sehingga hal ini telah tertancap kuat kedalam hati setiap orang Eropa, laki-laki maupun wanita. Dan yang lebih aneh lagi, semua ini masih terus hidup di dalam hati mereka meskipun telah berlangsung masa-masa pergantian (tabaddul) tsaqâfah (kultur dan peradaban). Setelah itu, perasaan keagamaan baru mulai memadam…Akan tetapi permusuhan terhadap Islam masih terus berlangsung…Selanjutnya, sikap meremehkan yang telah mentradisi itu mulai merasuk dalam bentuk faksionalis yang tidak rasional kedalam kajian-kajian ilmiah mereka. Sehingga, meremehkan Islam adalah merupakan bagian fundamental dalam pemikiran Eropa”. Ini-lah yang muncul dari lisan mereka. Padahal, apa yang tersimpan di dalam dada mereka jauh lebih besar (wamâ tukhfî shudûruhum akbar).

Samuel Zwimmer, ketua organisasi missionaris dalam sebuah konfrensi kaum missionaris di al-Qusd yang diselenggarakan pada tahun 1935 M, mengatakan “Tugas kaum missionaris yang ditekankan kepada kalian oleh negara-negara Kristiani untuk dijalankan di negara-negara Muhammad (Islam. peny) sesungguhnya bukan memasukkan kaum Muslim ke dalam agama Kristen. Sebab, itu artinya memberikan petunjuk dan penghormatan kepada mereka. Akan tetapi, tugas kalian adalah mengeluarkan kaum Muslim dari Islam-nya, sehingga ia tidak memiliki hubungan lagi dengan Allah. Dengan demikian, mereka tidak akan ada lagi hubungan dengan akhlak yang menjadi tonggak berdirinya umat dalam kehidupannya. Karena itu, dengan aktifitas ini, kalian akan menjadi cikal-bakal terbukanya penjajahan di kerajaan-kerajaan Islam. Sebab, kalian telah mempersiapkan semua pikiran mereka untuk ikut serta berjalan di jalan yang kalian tempuh; yakni agar tidak kenal lagi dengan hubungannya dengan Allah dan tidak memiliki keinginan lagi untuk mengenalnya. Dengan demikian, kalian telah mengeluarkan kaum Muslim dari Islam, akan tetapi kalian tidak memasukkannya ke dalam agama Kristen (Masîhiyah). Dan pada saat itulah, lahir generasi Islam yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kaum penjajah; tidak pernah memperhatikan hal-hal yang besar, gemar bersenang-senang, bermalas-malasan dan selalu ingin menuruti syahwatnya dengan berbagai cara, sehingga syahwat itulah yang menjadi tujuan dalam kehidupannya. Jadi, jika mereka belajar, tak lain adalah kerena syahwat, jika mereka mengumpulkan harta juga karena syahwat dan jika menempati posisi yang tinggi lagi-lagi dalam jalan syahwat, mereka menjadi orang-orang yang loyal untuk mengorbankan segalanya demi tercapainya syahwat. Wahai para missionaris, tugas kalian akan benar-benar sampurna jika kalian mampu melaksanakan semua ini”.

Dalam sebuah artikelnnya yang dipublikasikan dalam surat kabar al-‘Âlam al-Islâmy al-Tabsyîriyah, Isaiah Bowman mengatakan, “Tidak pernah dijumpai sama sekali ada suatu bangsa Kristiani yang telah masuk ke dalam Islam kemudian kembali menjadi Nasrani. Jadi, Islam adalah satu-satunya bahaya yang menghadang keberlangsungan Zionisme dan Israel”.

Seorang missionaris, Takaly, mengatakan, “Kita harus menggunakan al-Quran. Sebab, al-Quran adalah sebuah sejata yang paling ampuh yang ada di dalam Islam untuk melawan Islam itu sendiri, sehingga kita benar-benar mampu menghancurkan Islam. Kita harus menjelaskan kepada kaum Muslim bahwa sesungguhnya kebenaran yang ada di dalam al-Quran bukan perkara baru, sementara, perkara baru yang ada di dalam al-Quran sesungguhnya bukan perkara yang benar”.

Seorang missionaris lain, William Gifford Palgrave mengatakan, “Kapan jika al-Quran dan kota Makkah telah tertutupi dari negeri-negeri Arab, ketika itulah kita akan dapat melihat bangsa Arab masuk ke dalam hadhârah (peradaban) Barat dan menjauah dari Muhammad dan kitabnya”.

Lawrence Brown mengatakan, “Islam-lah sesungguhnya satu-satunya tembok pertahanan yang menghadang penjajahan Eropa”.

Mureaux Berger dalam bukunya, al-Âlam al-‘Araby al-Mu’âshir, mengatakan, “Ketakutan kita terhadap bangsa Arab serta perhatian besar kita kepada umat Arab sesungguhnya tidak lahir akibat adanya sumber minyak yang melimpah di sana. Tetapi, karena Islam”.

Gardner mengatakan, “Peperangan Salib sesungguhnya tidak untuk menyelamatkan al-Quds, akan tetapi untuk menghancurkan Islam”.

Cardinal Port menegaskan, “Orang-orang Kristiani harus kerja sama dengan Yahudi untuk menghancurkan Islam yang membebaskan bumi suci (al-Ardh al-Muqaddasah). (Nasyrah al-Ta’âyusy al-Masybûh: Hal. 4)

Raja Louis kesembilan, raja Prancis yang tawan di Dâr Ibn Luqmân di al-Manshurah, dalam sebuah dokumen yang tersimpan di Dâr al-Watsâ’iq al-Qaumiyah (Kantor Dokumen Nasional) Paris mengatakan, “Sesungguhnya tidak mungkin dapat mengalahkan kaum Muslim melalui peperangan. Akan tetapi, kita dapat mengalahkan mereka dengan melalui cara politik sebagai berikut:

· Menyebarkan perpecahan diantara pemimpin kaum Muslim. Jika telah terjadi, dengan semaksimal mungkin harus dilakukan sebuah tindakan-tindakan yang akan menjadikan perpecahan itu semakin melebar. Sehingga hal ini menjadi faktor yang akan melemahkan kaum Muslim.

· Mencegah berdirinya pemerintahan yang baik di negeri-negeri Islam dan Arab

· Menghancurkan sistem kepemerintahan di negeri-negeri Islam dengan suap, kerusakan dan wanita. Sehingga pudarlah kaedah kehidupan mereka dari tujuan yang tingginya.

· Menghalangi lahirnya sebuah tentara yang percaya akan kewajibannya terhadap tanah air dan yang rela berkorban demi ideologinya.

· Berusaha menghalangi berdirinya persatuan Arab di wilayah Arab.

· Berusaha mendirikan negara Barat di wilayah Arab yang membentang diantara Gaza selatan, Antioch Utara kemudian mengarah ke Timur dan membentang sampai ke Barat.

Gibb (tokoh missionaris di Inggris) mengatakan, “Islam telah kehilangan dominasinya atas kehidupan sosial kaum Muslim. Sementara, wilayah kekuasaannya semakin menyempit sedikit demi sedikit hingga tinggal ritual-ritual yang amat sempit. Semua ini semakin beranjak sampurna tanpa adanya sebuah kesadaran sedikitpun. Perkembangan itu kini telah benar-benar jauh dan tidak mungkin akan kembali lagi. Akan tetapi, kesuksesan perkembangan ini sangat tergantung dengan para tokoh dan pemimpin kaum Muslim, terlebih para pemudanya. Semua itu tak lain adalah buah hasil kegiatan pendidikan dan tsaqafah libral”.

Orang-orang Inggris menyebut serangan militer mereka atas al-Quds pada saat perang dunia pertama sebagai perang Salib. Patterson Schmidt, dalam bukunya, Hayât al-Masîh al-Sya’biyah, mengatakan, “Selama itu perang Salib selalu membawa kegagalan. Akan tetapi peristiwa besar telah terjadi setelah itu, yakni pada saat Inggris mengirimkan pasukan Salibnya yang kedelapan. Pada kali ini telah benar-benar berhasil. Serangan Allenby atas al-Quds pada saat perang dunia pertama adalah serangan pasukan Salib yang kedelapan sekaligus yang terakhir. Oleh sebab itu, surat kabar Inggris menyebarkan foto Allenby dan di bawahnya tertulis sebuah ungkapan Allenby pada saat menaklukkan al-Quds yang amat terkenal, “Pada hari ini-lah, perang Salib telah usai”.

Berbagai surat kabar memberitakan bahwa ini bukan sikap Allenby saja, akan tetapi justru seluruh sikap politik Inggris. Surat kabar-surat kabar itu menulis, “Lloyd George, menteri luar negeri Inggris, di parlemen Inggris mengucapkan selamat kepada Jendral Allenby karena memperoleh kemenangan dalam akhir sebuah pertempuran dari perang Salib yang disebut oleh Lloyd George sebagai perang Salib yang kedelapan”.

Orang-orang Prancis juga tidak asing lagi dengan perang Salib. Sebab, hakekat agama kufur adalah satu. Contohnya adalah Jendral Goro. Setelah mengalahkan pasukan Maysaloon di luar kota Damaskus, ia langsung pergi menuju pusara Shalahuddin al-Ayyubi di masjid jâmi’ al-Umawy dan menjejaknya dengan kakinya saraya mengatakan kepadanya, “Lihatlah, kami telah kembali wahai Shalahuddin!”.

Gerakan Salib di Prancis ini dikuatkan oleh ungkapan Monsieur Beidou, menteri luar negeri Prancis, ketika dikunjungi oleh sejumlah anggota parlemen Prancis dan memintanya untuk membuat spesifikasi pertempuran yang terjadi di Marrakech. Monsieur mengatakan kepada mereka, “Itu adalah sebuah pertempuran antara Bulan Sabit dan Salib”.

Orang-orang Yahudi yang terlaknat di setiap masa itu, pada saat pasukan Israel memasuki al-Quds pada tahun 1967 M, pasukan perang itu langsung berkerumun di sekitar Tembok Ratapan (al-hâith al-mabkâ) dan meneriakan bersama Moshe Dayan, “Ini-lah hari pembalasan hari pertempuran Khaibar…Duhai dendam Khaibar”. Israel telah mengeksploitasi Gerakan Salib Barat sehingga Barat mendukungnya dengan melakukan demonstrasi di Paris sebelum perang tahun 1967 M dengan membawa banyak spanduk. Jean-Paul Sartre ikut berada di bawah spanduk-spanduk itu. Pada spanduk-spanduk dan berbagai kotak sumbangan untuk Israel itu tertuliskan “Bunuh Kaum Muslim!”.

Tentu saja semangat Pasukan Salib Barat menjadi berkobar-kobar. Masyarakat Prancis rela menyumbangkan sebanyak satu milyar Frank selama empat hari saja untuk mendukung dan memperkuat Zionisme yang terus menerus mengirim surat kepada Pasukan Salib Eropa di wilayah itu, yakni untuk memerangi Islam dan memberangus kaum Muslim.

Dalam satu perkembangan, tak sekalipun tiupan kedengkian Pasukan Salib itu pernah mengalami perbedaan dalam rentang waktu yang amat panjang. Eugene Rostow, kepala bagian perencanaan pada kementerian luar negeri Amerika dan pembantu menteri luar negeri Amerika sekaligus penasehat presiden Johnson untuk urusan Timur Tengah sampai pada tahun 1967 M, mengatakan, “Kita harus mengetahui bahwa perbedaan yang ada diantara kita dan bangsa-bangsa Arab bukanlah perbedaan antara negara atau bangsa. Akan tetapi, merupakan perbedaan antara hadhârah (peradaban) Islam dan hadhârah (peradaban) Kristiani (Masîhiyah). Sebab, pertempuran antara Islam dan Kristen sesungguhnya terus berdarah-darah sejak abad pertengahan. Dan pertempuran itu, masih terus berlangsung hingga kini dengan bentuknya yang berbeda-beda. Sejak satu setengah abad yang lalu, Islam telah tunduk di bawah kekuasaan Barat. Sementara, warisan Islam telah tunduk pada warisan Kristiani”. Eugene Rostow melanjutkan, “Situasi sejarah yang ada semakin menguatkan bahwa Amerika adalah merupakan bagian penyempurna dunia Barat; baik dalam filsafat, akidah maupun dalam sistemnya. Hal inilah yang menjadikan Amerika berdiri memusuhi dunia Timur Islam beserta filasfat dan akidah yang terujud di dalam Islam. Amerika tidak mungkin kecuali harus berdiri pada barisan yang memusuhi Islam dan bersama-sama dengan dunia Barat dan negara Zionis. Sebab, jika Amerika melakukan sebaliknya, itu artinya Amerika telah mengingkari bahasa, filsafat, tsaqafah dan lembaga-lembanganya”. Rostow menjelaskan dan menegaskan bahwa tujuan penjajahan di Timur Tengah tak lain adalah menghancurkan hadhârah (peradaban) Islam. Sementara itu, berdirinya negara Israel adalah merupakan satu bagian dari rancangan-rancangan yang ada. Hal itu tidak lain adalah untuk meneruskan pertempuran Salib.

Willy Claes, Sekjen NATO pada awal tahun sembilan puluhan abad yang lalu, mengatakan, “Telah tiba saatnya bagi kita untuk melepaskan segala macam perbedaan dan permusuhan di masa lalu. Dan saat kita menghadapi musuh hakiki kita semua, itulah Islam!”.

Jean Calvin, pemimpin tertinggi pasukan persatuan NATO pada tahun 1994 M, mengatakan, “Kita telah beruntung pada saat perang dingin. Dan kita kini kembali lagi setelah tujuh puluh tahun dari pertempuran yang kecil menuju sebuah arena pertempuran yang telah berkobar sejak seribu tiga ratus tahun yang lalu. Itulah sebuah petempuran langsung yang amat besar melawan Islam”.

Pemimpin redaksi surat kabar Times dalam sebuah bukunya, Safar Âsiyâ, memberikan nasehat kepada pemerintah Amerika agar membuat kedikatatoran militer di negeri-negeri Islam untuk menghalangi kembalinya Islam yang akan memimpin kaum Muslim, sehingga mereka akan mampu mengalahkan Barat, hadhârah (peradaban) dan penjajahannya”.

Sementara Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika yang sebelumnya dan sekaligus sebagai salah satu teoritisi politik strategi keturunan Yahudi, mengatakan, “Sesungguhnya musuh baru yang harus dihadapi oleh Barat adalah dunia Arab Islam, sebagai sebuah dunia yang menjadi musuh baru bagi Barat”.

Nixon, mantan presiden Amerika , sekaligus sebgai salah satu ahli strategi Amerika, dalam bukunya, al-Furshah al-Sânihah, mengatakan, “Islam bukanlah agama semata. Akan tetapi, ia merupakan dasar bagi sebuah hadhârah (peradaban) yang besar”. Dia juga mengatakan, “Islam dan Barat adalah dua hal yang bertentangan. Dalam padangan Islam dunia terbagi menjadi dua; Dâr al-Islâm dan Dâr al-Harb, dimana yang pertama harus mengalahkan yang kedua”. Terkait kaum Fundamentalis, Nixon mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang bertekad bulat untuk mengembalikan hadhârah (peradaban) Islam dengan cara membangkitkan masa lalu. Mereka juga menyerukan penerapan syari’at Islam dan menyerukan bahwa Islam adalah agama dan negara. Akan tetapi, meskipun mereka melihat masa lalu, mereka sesungguhnya menjadikannya sebagai petunjuk menuju masa depan”.

Dalam bukunya, Shidâm al-Hadharât: ‘I’âdat Shun’ al-Nizhâm al-‘âlamy, Samuel Huntington, mengatakan, “Hubungan antara Islam dan Kristiani biasanya ibarat badai. Keduanya adalah perkara yang berbeda satu sama lain. Pertempuran abad ke dua puluh antara Demokrasi Libral dan Marxism-Leninism sesungguhnya hanya fenomena dangkal yang akan sirna ketika dibandingkan dengan hubungan pertempuran yang terus berlangsung dan mendalam antara Islam dan Kristiani (Masihiyah)”. Samuel juga mengatakan, “Islam adalah satu-satunya haadharah (peradaban) yang membuat keberlangsungan Barat berada dalam keraguan. Hal itu paling tidak telah dua kali dilakukan”. Akan kaitannya dengan faktor-faktor yang menyebabkan pertempuran antara Islam dan Barat di masa mendatang Samuel menyebutkan lima faktor:

· Pertumbuhan penduduk dunia Islam menggantikan jumlah yang amat besar dari para pemuda pengangguran dan tamak yang direkrut menjadi tentara untuk urusan-urusan Islam.

· Kebangkitan Islam telah memberikan kepercayaan (positifisme) baru bagi kaum Muslim pada sifat dasar dan kemampuan hadhârah (peradaban) mereka serta nilai-nilai khas mereka dibandingkan dengan hadharah dan nilai-nilai bagi Barat.

· Usaha Barat penjajah yang terus menerus menyebarkan nilai-nilai dan organisai-organisaniya, serta campur-tangan mereka di dalam pergolakan-pergolakan yang terjadi di dunia Islam telah menyebabkan kekesalan hati yang amat dalam pada diri kaum Muslim.

· Runtuhnya Sosialisme telah melenyapkan musuh bersama bagi Barat dan Islam. Sehingga, tinggal keduanya (Islam dan Barat) yang menjadi musuh yang akan membahayakan satu sama lain.

· Gesekan (friksi) dan percampuran yang terus bertambah antara kaum Muslim dan Barat akan membangkitkan sensifitas-identitas khusunya pada masing-masing pihak. Bagaimana tidak, satu sama lain saling berbeda.

Inilah lima faktor-faktor terpenting bagi terjadinya pertempuran antara Barat dan Islam dan terus akan berjalan kedepan menuju sebuah pertempuran baru.

Pada 16/12/2008 M, Bush tiba di Afganistan dalam kunjungan terakhirnya kepada sekutunya, Karzay, setelah mengunjungi Iraq yang menyebabkan dirinya mendapat lemparan sepatu yang menghinakan itu. Di antara yang ia katakan –pada waktu itu, “Saya ingin berterima kasih kepada presiden Karzay dan ingin menyampaikan kepada rakyat Afganistan bahwa Amerika Serikat (AS) mendukung mereka dan terus akan mendukung mereka dalam perjuangan yang amat panjang dalam memerangi terorisme dengan pertimbangan bahwa pertempuran keyakinan memang memakan waktu yang amat panjang”.

Inilah setetes dari lautan penjelasan yang akan mengungkap apa yang tersembunyi di balik jiwa-jiwa kaum Barat yang kotor lagi pendengki itu. (sumber : majalah alwaie Arab edisi Khusus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar